Obrolan:Saganten, Sindangbarang, Cianjur

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Ti Wikipédia Sunda, énsiklopédi bébas

Assalamu alaikum. Nepangken abdi warga sindangbarang desa saganten kampung lembursawah yg skrang tinggal di jakarta alhamdulilah parantos pns janten ibu guru di sekolah standar nasional.yg insa alloh sasih payun menjadi rintisan sekolah berstandar inernasional. Abdi kapungkur lulusan SD 2 ibu guru abdi diantawisna Bu sunarti B dedeh anu sanesn hilap punten ibu guru teras abdi SMPN sindang barang. Diterasken deui di SMA sindangbarang mung abdi kelas 2.ngalih ka SMAN 2 cianjur abdi ngahaturken nuhun ka sadayana bapak ibu guru anu atos ngati ngadidik ka simkuring salajeng abdi kuliah di IAIN Jakarta nahatur ken nuhun karerencangan di LPK Bojongpicung khususnya kanggo pak hely hilman kumaha daramang salam baktos ti abdi putra bapak alm H Atang Wijaya.hatur nuhun baktos abdi Dedah Mulyani S.pdI

Pantai Sindang Barang[édit sumber]

Pantai sindang barang aya pantai nama Pantai Apra Sarang pantai Sereg uapmi lebran rame pisan Pungujung namah ti darah Cibinong Tangeng, Walahir, sukanagara, Kadupandak Upami ciri has makananya Leper, Jarangking (Raginag ikan) Udang laut

Pantai Sindang Barang[édit sumber]

Sindag Barang, di antawisna Pantai Sereg Lumayan rame upami Lebaran mah, pataina masih alami, upami di kelola tangtu bisa gahasilkeu pengwangunan daerah, kuhaha atuhnya Bapak bupati ,

Mudrikah Alumni SMAN sidang barang

LEGENDA TAKUBAN PARAHU[édit sumber]

Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).

Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).

Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).

Mudrikah ALUMNI SMAN Sidang Barang

Wilujeung Boboran Siam[édit sumber]

Sanajan raga paanggang, teu bisa amprok dampal panangan Ngan saukur bisa ngirim surat, chating jeung SMSsan Kalayan dibarengan ku kaihlasan, neda dihapunten samudaya kalepatan “Taqobalallohu mina wa minkum syiamana wa syiamakum” Wilujeng Boboran Syiam

Kedaling rasa nu pinuh ke bangbaluh hate, urang lubarkeun, ngawengku pinuh ku nyuuh, meungpeung wanci can mustari. Neda dihapunten kana samudaya kalepatan, bilih kantos nyungkelit dina ati, kasiku catur, katajong omong dina cariosan anu matak ngarahetkeun kana manah, kumargi urang mah teu tiasa lumpat tina kalepatan sareng kakhilafan. Sim kuring ngahaturkeun Taqabalallahu Minna Wa Minkum, Wilujeung Boboran Siam

Mudrikah